Palu, Satusulteng.com – Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF RI) menggelar kegiatan Literasi dan Edukasi Hukum Bidang Perfilman dan Penyensoran.
Kegiatan yang ditargetkan untuk mahasiswa/pelajar sesuai jurusan perfilman, komunitas, cineas atau calon pembuat film ini, dilaksanakan di Hotel Aston Palu, jalan Wolter Monginsidi Kelurahan Lolu Selatan, Selasa (11/11/2025).
Ketua Subkomisi Hukum dan Advokasi LSF RI, Saptari Novia Stri, S.H., dalam sambutannya mengatakan bahwa saat ini pihak melakukan sosialisasi ke seluruh Indonesia untuk memberikan edukasi tentang bagaimana membuat film dengan baik
“Karna tugas kami adalah melakukan penelitian dan penilaian terhadap film yang akan di tayangkan untuk halayak umum sesuai penggolongan usia, yaitu Semua Umur, 13 tahun keatas, 17 Tahun Keatas dan 21 Tahun Keatas, ” ujarnya.
Saptari, menambahkan, pihaknya memberikan penggolongan usia sebuah film, setelah melakukan penyensoran sesuai dengan undang-undang yang berlaku bahwa setiap film yang akan di edarkan wajib mendapatkan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dari lembaga yang berwenang yaitu LSF RI.
Selain itu, lanjut Saptari, pihaknya juga telah membuat MoU dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk memproteksi film yang tidak masuk sensor pada siaran televisi, karena semuanya harus melalui proses penyensoran baik itu layar lebar, televisi dan jaringan teknologi informatika.
“Kami harapkan dari kegiatan ini adalah para pembuat film nantinya dapat melihat rambu-rambu apa saja yang harus dilihat, karena kami berpatokan pada undang-undang nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman, PP Nomor 18 Tahun 2014 dan Permen Dikbud Nomor 14 Tahun 2019,” ungkapnya.
Ia menambahkan, pihaknya tidak hanya melihat undang-undang itu saja, tetapi juga melihat undang-undang lain seperti pornografi, narkotika dan lainnya sebab ada hal-hal sensitif yang perlu di perhatikan dalam pembuatan film.
“Karena kita bebas berkreasi, inovasi dan kita bertanggung jawab untuk membuat film tersebut harus menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan norma yang berlaku sesuai kepribadian bangsa,” harapnya.
Sementara itu, Kadis Pendidikan Provinsi Sulteng, Yudiawati V. W., SKM, M.Kes., mengatakan bawa Film merupaka sesuatu yang biasa tetapi mempunyai kekuatan yang luar biasa dengan hadirnya perfilman yang ada unsur edukasi didalamnya baik itu positif maupun negatif seperti peran antagonis.
Ia menambahkan, perfilman harus memiliki kriteria usia sesuai yang di klasifikasi oleh Lembaga Sensor Film (LSF), akan tetapi pada kenyataannya pada saat menonton di bioskop kategori usia ini tidak selalu di terima di setiap tingkat masyarakat.
“Contohnya saat kita masuk bioskop menonton film kategori usia 17 tahun tetapi sering di dapati anak-anak usia SMP ada dalam bioskop, padahal lembaga Sensor sendiri sudah membuat suatu kriteria bahwa film harus di tonton sesuai usia, tetapi di tingkat masyarakat belum bisa memahami kriteria usia tersebut,” ujarnya.
Untuk itu, lanjut Yudiawati, upaya edukasi perlu terus dilakukan di kalangan masyarakat sehingga nantinya edukasi tersebut menjadi efektif sehingga masyarakat menonton film sesuai dengan kriteria usianya.
Ia mengatakan, dari film juga banyak hal negatif yang di tirukan di masyarakat, apalagi saat ini film tidak hanya biisa di nonton di bioskop tetapi di media sosial atau media online baik yang berbayar atau gratis film dapat dengan mudah di akses oleh masyarakat seperti film pendek yang bisa di nonton tanpa ada batasan usia.
Untuk itu, dengan adanya kegiatan tersebut, dirinya memberikan apresiasi sehingga apa yang menjadi harapan dari lembaga sensor film dapat diwujudkan.
“Sehingga setiap film yang beredar dapat di kelompokkan sesuai dengan usia penonton dan dapat meminimalisir adegan kekerasan, ekstrim, pornografi dan ujaran kebencian dalam sebuah film,” tutupnya. (Den)




